MERENUNGKAN PENDIDIKAN YANG KITA PEROLEH DENGAN TINDAKAN YANG KITA LAKUKAN
MERENUNGKAN PENDIDIKAN YANG KITA
PEROLEH DENGAN TINDAKAN YANG KITA LAKUKAN
Oleh : Siti Chotijah, S.Pd.
Gagasan tulisan ini
berawal dari SMA al-Hikmah Surabaya dan MI Humammadiyah Karanganyar. Hikmah yang bisa dipetik adalah
begitu pentingnya posisi guru di sekolah dalam membentuk kepribadian anak didik
yang berakhlakul karimah dan memiliki segudang prestasi. "Apapun jenis
lembaga pendidikan yang dikelola, pilar yang paling penting adalah sosok
gurunya." Demikian ungkapan kata-kata yang masih segar dalam ingatan
penulis. Guru merupakan sosok yang digugu dan ditiru. Keberhasilan anak didik
tergantung bagaimana guru mendidiknya. Baik tidaknya prilaku anak didik, guru
pulalah barometernya.
Kita sudah maklum,
selain keluarga, sekolah adalah tempat yang sangat efektif dalam membentuk
karakter (character building) anak didik. Selain membekali anak didik
dengan perangkat pengetahuan (tools of knowledge), sekolah juga dapat
membentuk kepribadian dan kedisiplinan anak didiknya. Tulisan ini bertolak belakang dengan statemen yang
menyatakan bahwa Sekolah Itu Candu. Gagasan ini mengasumsikan bahwa
sekolah telah menggerus bahkan mematikan "bakat" asasi yang ingin
dicapai oleh anak didik. Alhasil, sekolah tak lebih sebagai penjara yang
sebenarnya bagi anak didik ketimbang tempat yang dapat membantu dirinya
mengembangkan minat dan bakat yang hendak diraihnya.
Sedikitnya ada tiga
sekolah yang pernah penulis kunjungi (SD Islam Alhidayah Surakarta, SDIT Kabupaten Karanganyar, Pondok Gontor Jawa Timur, dan SMA Al-Hikmah Surabaya), terlepas
dari kelebihan dan kekurangan dari masing-masing lembaga tersebut, satu
pelajaran yang dapat diambil bahwa sekolah atau lembaga pendidikan merupakan
media yang paling efektif dalam mengenalkan anak didiknya tentang sesuatu yang
"baik" dan dapat ditransformasikan di dalam kehidupan masyarakat. Dan
pada tahap ini –ketika mereka baru lulus dari sekolah masing-masing– dapat
dikatakan SUKSES. Namun, cerita pendidikan tidak berhenti di sini.
Mereka akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan Tinggi. Di
sinilah mereka mengenal lingkungan yang "beda" dengan apa yang pernah
mereka alami dulu. Dunia kampus yang lebih menjanjikan kedewasaan karena mereka
rata-rata sudah memasuki gerbang peralihan dari masa remaja ke dewasa. Plus jenis
pendidikan yang ditempuh pun semakin kompleks dengan logika akademis yang tak
cukup hanya dengan "ya" saja ketika belajar, tapi sudah
"tidak", "mengapa", "bagaimana" dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menuntut refleksi filosofis dan metodologs.
Intinya, cara mereka belajar, cara mereka memahami, ataupun cara mereka
menafsirkan telah menginjak tingkat kognitif kelas tinggi (highest cognitive
level) dalam kerangka Bloom. Karenanya, apa yang mereka peroleh di bangku
sekolah, terkadang, tak mempunyai bekas ketika sudah kuliah. Penulis melihat,
ada mata rantai yang terputus di sini dalam kronologi pendidikan kita.
Melihat fenomena yang
santer beberapa tahun terakhir ini, yaitu mengenai tindakan korupsi, penulis
berpikir (walau ini masih berupa asumsi aksiomatik saja) di mana letak efektif
pendidikan yang mereka peroleh di bangku sekolah dengan tindakan [korupsi] yang
mereka lakukan di tempat kerja? Kalau memang benar bahwa apa yang kita lakukan
berasal dari apa yang kita baca dan kita dengar, bukankah di sekolah dulu kita
membaca tentang sesuatu yang 'baik' sekaligus juga kita mendengar 'nasehat'
dari guru kita yang baik-baik. Di manakah sesuatu yang 'baik' yang pernah kita
peroleh dulu itu dalam tindakan kita hari ini? Pertanyaan ini lama berkecamuk
dalam diri penulis. Suatu saat penulis teringat kata-kata mutiara dalam bahasa
Inggris; "experience is the best teacher" [pengalaman adalah
guru yang paling bijak". Mutiara ini sedikit memberi jawaban. Apakah
pengalaman yang mereka peroleh setelah bangku sekolah itu, telah sedemikian
hebatnya mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka? Apakah
pengalaman-pengalaman bersama komunitas telah merubah cara pandang mereka?
Kalau pertanyaan ini semakin diperluas, apakah pengalaman bangsa ini dengan
korupsi yang telah diwarisi dari kakek moyangnya telah juga sedemikian akutnya
menjangkiti generasi muda saat ini?
Akhirnya, deskripsi
di atas mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan sederhana; kita memiliki dua
sosok guru. Guru di ruang-ruang sekolah kita, dan guru di ruang-ruang kehidupan
nyata kita yang berupa pengalaman. Pertanyaan untuk diri kita, guru manakah
yang paling mempengaruhi kita?
Komentar
Posting Komentar